tentang wayang

SEKILAS TENTANG WAYANG

Mengapa Wayang?
Sebagian besar masyarakat mengganggap wayang berasal dari kata bayang atau bayangan, dalam pertunjukan wayang yang sebenarnya penonton tidak berada di depan panggung wayang melainkan berada di balik panggung. Jadi sebenarnya yang dipertontonkan atau yang ditampilkan adalah bayangan–bayangan “boneka” wayang saja. Lalu mengapa kesenian ini menjadi sangat menarik dan mampu bertahan, meski sudah berusia ratusan tahun, dan menjadi sebuah masterpiece kesenian di indonesia bahkan di dunia? hal ini di tandai dengan diangkatnya wayang sebagai karya agung budaya dunia oleh UNESCO tanggal 7 Nopember 2003 atau masterpiece of oral and Intangible Heritage of Humanity, (Kongres Pewayangan 2005).
Tentunya ada banyak alasan mengapa wayang mampu menjelma sebagai sebuah karya yang agung, diantara alasan tersebut adalah karena wayang mengandung nilai-nilai ajaran moral yang bersifat universal. Demikian pula wayang memberikan sejumlah alternatif pilihan tentang watak atau karakter yang dapat dijadikan figur dalam hidup untuk pendidikan budi pekerti.

Pengertian Wayang
Kata ‘wayang’ mengandung sejumlah pengertian. Pengertian pertama adalah ‘gambaran tentang suatu tokoh’, ‘boneka’, yaitu boneka yang dimainkan dalam sebuah pertunjukkan wayang. Pengertian ini kemudian diperluas sehingga meliputi juga pertunjukkan yang dimainkan dengan boneka-boneka tersebut, dan lebih luas lagi adalah bentuk-bentuk seni drama tertentu. Dengan demikian wayang kulit bermaksud boneka itu dibuat dari kulit kerbau dan bayangan boneka-boneka kulit diproyeksikan di atas kelir/ layar dengan bantuan sebuah lampu (blencong).
Wayang juga termasuk lakon-lakon atau cerita-cerita yang dipentaskan. Cerita-cerita wayang purwa/kulit mengambil seluruh atau sebagian bahannya dari wiracerita India Ramayana dan Mahabharata dalam versi Jawa. Lakon purwa itu juga bertalian dengan cerita-cerita mengenai asal-usul orang Jawa, dan riwayat nenek moyang mereka yang telah didewakan itu. Ada bentuk wayang lain juga, misalnya, tari wayang wong, wayang golek, wayang klithik. Pada umumnya wayang memang dianggap sebagai puncak kebudayaan Jawa.
Dalang adalah tokoh utama dalam wayang kulit. Dia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk), yang mengajak memahami suasana pada saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya itu, dia adalah pemberi jiwa pada wayang.
Fungsi asal pertunjukkan wayang kulit adalah untuk ritual–termasuk upacara bersih desa, perkawinan, sunatan, kelahiran, ruwatan dan sebagainya. Hal tersebut berkaitan erat dengan sistem religi masyarakat jawa pada masa itu –bahkan sampai sekaran

Sejarah Wayang
Asal-usul Wayang Kulit di Indonesia hingga kini masih diperdebatkan oleh para ahli dan masih belum ada kesepakatan apakah Wayang Kulit memang asli Indonesia, dari India ataupun dari negara lain
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa. Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sekitar abad ke-10. Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Masa berikutnya yaitu pada jaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat, maka pemerintahan dipegang oleh puteranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa Sri Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem ceritera wayang Purwa.
Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagal dalangnya.


Para sanak keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang Purwa sudah diiringi dengan gamelan laras slendro.
Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan kraton diselenggarakan pagelaran wayang.
Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Semenjak terciptanya wayang Beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang tidak semata-mata merupakan kesenian Kraton, tetapi malah meluas ke lingkungan diluar istana walaupun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di luar lingkungan kraton sempat pula ikut menikmati keindahannya. Bilamana pagelaran dilakukan di dalam istana diiringi dengan gamelan laras slendro. Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya berupa Rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus untuk upacara ruwatan. Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurkan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit dengan sengkala ; Geni murub siniram jalma ( 1433 / 1511 M ), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni kerawitan dan pertunjukan wayang.
Pada masa itu sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan di buat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.
Pada masa itu terjadi perubahan secara besar- besaran diseputar pewayangan. Disamping bentuk wayang baru, dirubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir / layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun disana- sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walaupun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Adapun wayang Beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.
Pada jaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar. Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang berwarna keemasan.
Pada jaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang Gedog. Bentuk dasar wayang Gedog bersumber dari wayang Purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu Jenggala, Mamenang / Kediri, Ngurawan dan Singasari. Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata "Gedog" berarti kuda. Dengan demikian pengertian dari Wayang Gedog adalah wayang yang menampilkan ceritera-ceritera Kepahlawanan dari "Kudawanengpati"atau yang lebih terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati. Pada pagelaran wayang Gedog diiringi dengan gamelan pelog. Sunan Kudus salah seorang Wali di Jawa menetapkan wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana. Berhubung wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu menciptakan wayang Damarwulan . Yang dijadikan lakon pokok adalah ceritera Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan yang bernama Minak Jinggo.
Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang Golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer dan rebab. Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan Topeng yang dibuat dari kayu. Pokok ceriteranya diambil dari pakem wayang Gedog yang akhirnya disebut dengan topeng Panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang Purwa. Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang Purwa dan wayang Gedog. Wayang ditatah halus dan wayang Gedog dilengkapi dengan keris. Disamping itu baik wayang Purwa maupun wayang Gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.
Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa Satataning Jalma ( 1552 J / 1670 M ). Dalam pagelaran wayang Purwa tokoh Buta Cakil merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang Purwa oleh Sultan Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal: ( 1553 J / 1671 M ). Sekitar abad ke 17, Raden Pekik dari Surabaya menciptakan wayang Klitik, yaitu wayang yang dibuat dari kayu pipih, mirip wayang Purwa. Dalam pagelarannya dipergunakan pakem dari ceritera Damarwulan, pelaksanaan pagelaran dilakukan pada siang hari.
Pada tahun 1731 Sultan Hamangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk lain yaitu wayang Wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia dengan mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian yang ada pada wayang kulit.
Dalam pagelaran mempergunakan pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabarata. Perbedaan wayang Wong dengan wayang Topeng adalah; pada waktu main, pelaku dari wayang Wong aktif berdialog; sedangkan wayang Topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang.
Pada jaman pemerintahan Sri Hamangkurat IV; beliau dapat warisan Kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra yang bertahta di negara Mamenang/Kediri. Kemudian pindah Kraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Ceritera dari Wayang Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari ceritera Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam ceritera Panji. Bentuk wayang Madya, bagian atas mirip dengan wayang Purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog. Semasa jaman Revolusi fisik antara tahun 1945 - 1949, usaha untuk mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara.
Salah satu usaha ialah melalui seni pedalangan. Khusus untuk mempergelarkan ceritera- ceritera perjuangan tersebut, maka diciptakanlah wayang Suluh. Wayang Suluh berarti wayang Penerangan, karena kata Suluh berarti pula obor sebagai alat yang biasa dipergunakan untuk menerangi tempat yang gelap. Bentuk wayang Suluh, baik potongannya maupun pakaiannya mirip dengan pakaian orang sehari-hari. Bahan dipergunakan untuk membuat wayang Suluh ada yang berasal dari kulit ada pula yang berasal dari kayu pipih. Ada sementara orang berpendapat bahwa wayang suluh pada mulanya lahir di daerah Madiun yang di ciptakan oleh salah seorang pegawai penerangan dan sekaligus sebagai dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang Suluh, karena selalu mengikuti perkembangan jaman. Hal ini disebabkan khususnya cara berpakaian masyarakat selalu berubah, terutama para pejabatnya .
Dalam pada itu wayang telah mengalami perjalanan panjang untuk sampai pada bentuk dan cerita yang dikenal sekarang. Wayang yang dimulai sebagai media persembahahan terhadap roh-roh nenek moyang telah berkembang menjadi sebuah hiburan yang sarat dengan nilai estetik dan moral.

Sumber Ceritera atau Pakem Wayang
Dalam dunia wayang terdapat cerita yang menjadi dasar dalam pagelaran wayang. Adapun sumber ceritera wayang itu ada 2 macam, ialah :
1. Sumber-sumber ceritera wayang yang berupa buku-buku, misalnya: Maha Bharata, Ramayana, Pustaka Raja Purwa, Purwakanda dll.
2. Sumber-sumber ceritera wayang yang semula berasal dari lakon carangan atau gubahan yang telah lama disukai oleh masyarakat. Sumber-sumber ceritera ini disebut “pakem purwa-carita” yang kini sudah banyak juga yang dibukukan, misalnya lakon-lakon: Abimanyu kerem, doraweca, Suryatmaja maling dan lain sebagainya.
Perlu diketahui pula bahwa dalam hal sumber-sumber ceritera wayang inipun, seringkali terdapat silang pendapat satu sama lain. Ada yang beranggapan, bahwa hanya “serat pustaka raja” yang benar. Ada lagi yang berpendapat, bahwa hanya ‘serat purwakanda” yang benar. Anggapan-anggapan dan pendapat-pendapat yang demikian itu disebabkan oleh pengaruh adopsi ceritera wayang itu telah lama dan mendalam, sehingga menimbulkan keyakinan bahwa ceritera wayang yang dimuat dalam buku sumber ceritera wayang tersebut benar-benar ada dan terjadi dinegara kita ini. Padahal kalau ditilik dari sejarahnya, induk/sumber ceritera wayang itu, baik ramayana maupum Mahabharata, kedua-duanya itu merupakan weda (kitab suci) agama hindu yang kelima, yang disebut panca weda. Kedua kitab tersebut memuat pelajaran weda yang disusun berujud ceritera. (http://www.jawapalace.org )
Serat Ramayana diciptakan oleh Resi Walmiki menceriterakan pelaksanaan karya Awatara Rama untuk mensejahterakan dunia. Serat Maha Bharata diciptakan oleh Resi Wyasa, menceriterakan pelaksanaan karya Awatara Krisna juga untuk mensejahterakan dunia.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa salah satu sumber ceritia wayang adalah Serat Purwakanda, “purwakanda” adalah salah satu sumber ceritera wayang di Yogyakarta yang memuat kisah sejak bathara guru menerima kekuasaan dari sanghyang tunggal sampai dengan bertahtanya R. Yudayana sebagai Raja di negeri Ngastina. Buku tersebut berbentuk tembang dan yang ada mungkin hanya di Yogyakarta saja, baik dalam karaton maupun diluarnya. Menurut beberapa sumber ‘serat purwakanda” tersebut dihimpun atas perintah almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono V
Penghimpunan dan penyusunan Serat Purwakanda ini kira-kira bersamaan waktunya dengan almarhum R.Ng.Ronggowarsita di Solo,yang juga menghimpun dan menyusun Serat Pustaka Raja Purwasita (salah satu sumber cerita wayang –sudah dibukukan). Serat purwakanda tesebut oleh sebagian dalang-dalang di Yogyakarta, terutama dalang-dalang dari keraton Yogyakarta dijadikan sumber lakon-lakon wayang dalam perkelirannya/pagelarannya, sedangkan di Solo adalah Serat Raja Purwasito.


Pengaruh Islam Terhadap Kesenian Wayang
Tidak dapat dipungkiri masuknya islam ke indonesia memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kebudayaan asli bangsa indonesia yang notabene sarat dengan pengaruh hindu, buddha bahkan animisme dan dinamisme. Pengaruh tersebut tidak terkecuali terhadap wayang.
Islam mempunyai peranan yang sangat significant terhadap perkembanagn wayang di indonesia –khusunya jawa.Tentu saja hal ini erat kaitannya dengan proses islamisasi atau penyebaran agama islam. Seperti yang telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya bahwa pertunjukan wayang menggunakan cerita mahabarata dan ramayana sebagai basic story yang notabene merupakan epic yang kental dengan nuansa hindu. Hal itu lah yang mendasari islam ––dalam hal ini adalah wali songo–– untuk melakukan penambahan dan pengurangan detail wayang baik secara fisik maupun non fisik. Perubahan tersebut dimaksudkan agar ajaran islam dapat masuk dalam wayang tersebut.
Salah satu perubahan yang dilakukan adalah dengan menambahkan beberapa peran yang sebelumnya tidak ada, seperti adanya tokoh semar dan punakwan yang dalam cerita sebagai penyeimbang kehidupan sosial. Selain itu dimasukkan pula sebuah konsep ketuhanan seperti penggunaan pusaka jimat kalimasada atau dari kata kalimah sahadat. Perubahan juga pada bentuknya, wayang yang pada awalnya berbentuk realistik dikembangkan ke dalam bentuk non-realistik. Wayang pada perkembangan Hindu terakhir dengan gaya realistik sesuai dengan kepentingan agama Hindu yang oleh para wali dikembangkan dalam rekaan estetik baru sesuai dengan budaya islam.
Jadi pada dasarnya wayang kulit digunakan oleh para wali untuk menyebarkan Islam. Karena ajaran Hindu sudah cukup akrab di masyarakat kala itu, cerita Mahabrata dan Ramayana dari Tanah Hindu dimodifikasi untuk mengajarkan Ketauhidan. Misalkan, dalam cerita Mahabharata para dewa punya wewenang yang sangat absolut, sebagai penentu nasib dan takdir yang tidak bisa disanggah maka para wali membuat objek baru yang posisinya lebih kuat yaitu lewat tokoh Semar yang pada akhirnya Semar tersebut turun ke bumi untuk mendampingi setiap kejadian dalam babak Bharatayuddha baik sebagai penengah atau sebagai eksekutor tokoh yang tidak bisa diajak ke dalam kebaikan.
Nilai-Nilai Moral dan Keteladanan dalam Wayang (Kulit)
Di dalam kesenian wayang kaya akan nilai-nilai simbol atau perlambang yang tak terhitung jumlahnya dan perlu sebuah kaijan yang mendalam dan teliti untuk mengkaji tiap detailnya. Oleh karena itu dalam bahasan ini hanya akan dibahas secara garis besar saja. Nilai-nilai tersebut diantaranya:
1. Nilai kepahlawanan contoh: tokoh Kumbakarna, Adipati Karna.
2. Nilai kesetiaan contoh: tokoh Dewi Shinta, Raden Sumantri (Patih Suwanda) dan sebagainya.
3. Nilai keangkaramurkaan contoh: Tokoh Rahwana, Duryudana dan sebagainya.
4. Nilai kejujuran contoh: Tokoh Puntadewa dan sebagainya. dan sebagainya. dan sebagainya.
Di sini masih banyak nilai-nilai yang lain yang patut ditimba manfaatnya bagi kita semua. Arti lambang juga terdapat didalam pakeliran lewat lakon-lakon wayang. Misalnya kalau kita mengamati lakon Dewa Ruci di dalamnya mengandung lambang kehidupan manusia di dalam mencapai cita-cita hidup kita harus dapat melewati beberapa tantangan, kalau kita berhasil mencapainya kita akan mendapatkan buahnya.
Seni pewayangan selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan yang tertuang dalam dilaog dialur cerita yang ditampilkan. Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsep yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia dengan manusia lain.
Selain penjelasan di atas masih terdapat beragam apresiasi yang dapat dilakukan. Misalnya apabila kita melihat pada bagian atau pembabakan wayang akan kita dapati sebuah konsepsi lagi yang briliant dari pencetusnya, dalam hal ini diambil contoh pagelaran wayang di Yogyakarta yang menganut sistem tiga wewaton tau babak. Secara selintas lalu hal tersebut menjadi sesuatu yang biasa namun apabila dicermati lebih jauh hal tersebut memiliki makna yang dalam.
Mengapa tiga? Ternyata bilangan tiga tersebut mengandung arti yang sangat dalam yaitu merupakan kias atau saloka yang mengandung mitologi jawa yang luhur, bilangan tiga itu, mengandung maksud “triwikrama” yang artinya melangkah tiga kali : purwa, madya dan wasana atau metu, manten, mati. Triwikrama mengandung pengertian kehidupan manusia di dunia, yang mengalami 3 masa : masa kanak-kanak, masa dewasa dan masa tua lalu kemudian wafat mitos tersebut mayakini benar-benar bahwa yang disebut mati. Jadi hampir semua detail wayang tidak serta merta tanpa makna. Hal ini membuktikan bahwa kesenian wayang diciptakan dengan sangat teliti dan penuh dengan filosofi.

Pelestarian Wayang

Sebagai sebuah kesenian yang telah diakui eksistensinya oleh dunia, sudah seharusnya wayang kulit dilestarikan dengan usaha-usaha nyata dan maksimal. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat keagungan kesenian wayang, baik nilai estetisnya maupun pesan moral dan teladan baik yang tersurat maupun yang tersirat dari kesenian tersebut. Upaya pelestarian tersebut hendaknya dilakukan oleh semua pihak. Beberapa hal yang mungkin dapat menjadi pertimbangan dalam pelestarian tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Pelestarian dan pengembangan perlu dilakukan pada wayang yang bercorak konvensional maupun modern
2. Tanggung jawab pelestarian dan pengembangan wayang dilakukan oleh pemerintah melalui instansi terkait, baik negeri maupun swasta, maupun masyarakat
3. Penumbuhan minat dan bakat terhadap wayang pada anak dilakukan melalui jalur pendidikan keluarga dengan cara mendekatkan kembali pada lingkungan budayanya, pembiasaan berbahasa lokal pada anak sesuai bahasa ibunya, jalur formal melalui kurikulum muatan lokal bahasa Jawa
4. Sesuai dengan perubahan sosial budaya yang telah, tengah dan akan terjadi, maka dalam rangka pelestarian dan pengembangan perlu dirancang dan dilaksanakan program kreatif melalui media audio visual, multimedia, internet, dll.
5. Wayang mengandung nilai-nilai ajaran moral yang bersifat universal. Demikian pula wayang memberikan banyak alternatif pilihan tentang watak atau karakter yang dapat dijadikan figur dalam hidup untuk pendidikan budi pekerti. Untuk itu perlu menggali makna kembali dan menyosialisasikan nilai-nilai ajaran moral tersebut kepada generasi muda.
6. Upaya pelestarian, pengembangan dan pemberdayaan pertunjukan wayang dapat dilakukan secara menyeluruh.
7. Pemberdayaan dan pengembangan wayang meliputi pengembangan dan penciptaan cerita, kreativitas seni bentuk wayang.
8. Sebagai produk budaya bangsa yang sudah berkekuatan hukum, pemerintah wajib melindungi dan melestarikan hasil budaya tersebut agar terhindar dari kepunahan.
9. Tanggung jawab pelestarian, pengembangan dan pemberdayaan wayang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.
10. Di kalangan generasi muda dan anak-anak terjadi proses pengikisan aprersiasi dan tanggapan terhadap kehidupan wayang, oleh karena itu, perlu dicari upaya yang tepat agar minat dan bakat anak terhadap wayang dapat ditumbuhkan.

Simpulan
Wayang termasuk karya seni dan budaya Indonesia yang adi luhung. Di samping bernilai filosofi yang dalam, wayang juga sebagai wahana atau alat pendidikan moral dan budi pekerti atau yang dikenal dengan etika. Dunia perwayangan memberi peluang bagi orang Jawa untuk melakukan suatu pengkajian filsafat dan mistis sekaligus. Di sisi lain, cerita wayang merupakan suatu jenis cerita didaktik yang di dalamnya memuat ajaran budi pekerti yang menyiratkan tentang perihal moral. Bahkan bidang moral merupakan wacana utama dalam pesan-pesan yang disampaikan wayang.
Sebagai jenis kesenian yang mencakup beberapa cabang seni (seni teater, ukir, musik, dan sastra), estetika wayang begitu indah dan mempesonakan. Nilai filosofi, etika, dan estetika itulah yang menjadikan wayang sebagai salah satu kesenian yang diakui oleh dunia sebagai karya seni yang monumental.
Filsafat Jawa telah diejawantahkan dalam bentuk seni pertunjukan wayang kulit. Meskipun isi cerita wayang berasal dari India, namun terdapat pebedaan hakiki dalam perwujudannya. Di India, isi cerita dianggap benar-benar terjadi dalam jalur mitos, legenda dan sejarah, sedang di Indonesia cerita-cerita itu mengiaskan perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin pencarian manusia akan berakhir dengan wikan, weruh, atau mengerti asal muasal dan baik buruknya kehidupan

DAFTAR PUSTAKA
Koentjoroningrat, Prof, Dr, 1995, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Djambatan: Jakarta

––––––––––––, 1986, “Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional” dalam Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan, PT Gramedia: Jakarta.

––––––––––––, 1994, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka: Jakarta.

––––––––––––, 1986, Pengantar Ilmu Antroplogi, Aksara Baru: Jakarta

Moertjipto, drs, et.al, 1997, Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya di Daerah Istemewa Yogyakarta, Depdikbud: Yogyakarta.

Murnianto, Gatut, drs, et.al, 1981, Adat Istiadat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, depdikbud: Jakarta.

http://www.geocities.com/Athens/Delphi/7409/
(http://www.jawapalace.org )

LAMPIRAN
A. Jenis-Jenis Wayang

1. Wayang kulit
2. Wayang golek
3. Wayang Krucil
4. Wayang Purwa
5. Wayang Beber
6. Wayang Orang
7. Wayang gedog
8. Wayang sasak
9. Wayang calonarang
10. Wayang wahyu
11. Wayang menak
12. Wayang klitik
13. Wayang suluh
14. Wayang papak
15. Wayang madya
16. Wayang Parwa
17. Wayang sadat
18. Wayng kancil


B. Daftar Tokoh Wayang
Di bawah ini disajikan daftar tokoh-tokoh yang muncul dalam kisah Wiracarita, Ramayana dan Mahabharata yang sering dipentaskan dalam pertunjukan wayang:
Dewa - Dewi Para Wayang

1. Sang Hyang Tunggal
2. Batara Guru
3. Batara Bayu
4. Batara Wisnu
5. Batara Kamajaya
6. Batara Indra
7. Batara Brahma
8. Batara Narada
9. Batara Yamadipati
10. Batara Surya
11. Batara Candra


Ramayana

1. Rama Wijaya
2. Laksamana
3. Sinta
4. Satrugna
5. Subali
6. Sugriwa
7. Hanoman
8. Rahwana
9. Wibisana
10. Dasarata
11. Jatayu
12. Sumitra
13. Kosalya
14. Sarpakenaka
15. Anggada
16. Anila
17. Jembawan
18. Parasurama
19. Garuda Jatayu
20. Kumbakarna
21. Wilkataksini
22. Indrajit
23. Trisirah
24. Trinetra
25. Trikaya
26. Prahastha


Mahabharata
Mahabarata menceritakan perebutan kekuasaan antara pihak Pandawa dan Kurawa yang masih bersaudara. Pertarungan antara kedua pihak tersebut memuncak dalam sebuah perang besar Baratayuda.
Pandawa
1. Yudistira
2. Bima atau Werkudara
3. Arjuna
4. Nakula
5. Sadewa
Pihak Pandawa

1. Pandu Dewanata
2. Kresna
3. Srikandi
4. Gatotkaca
5. Abimanyu
6. Parikesit
7. Drupadi
8. Antareja
9. Antasena
10. Wisanggeni

Kurawa
1. Dretarastra
2. Duryodana, Suyodana
3. Dursasana
Pihak Kurawa
1. Raja:Duryudana, Suyudana, Destarata Putra, KutruPati, JakaPitana
Satria yang tak mau bersedekah sama sesama,bersifat dengki srei sama sesama,putra dari prabu Destarata, satria titisan darah Kuru,dan dikala muda sudah memangku jabatan.
1. Patih:Arya Sangkuni,Arya Suman.
2. Pendita:Begawan resi Dorna,pendita Drona,resi Kumboyana.
3. Begawan Bisma:Begawan ini pernah menjadi senopati negara astina dan mati yang prisipnya sama dengan Kumbokarna dari Alengka,maju kepalagan perang untuk membela bumi tanah kelahiran bukan untuk membela raja Astina yang jela-jelas tidak baik,dan kematiannya oleh Srikandi yang telah dititisi dewi Amba.
4. Dursasana:Panegak kurawa dari Banjarajumrut
5. Aswatama:putra dari resi Dorna
6. Kartamarma
7. Tirtanata
8. Durmogati
9. Citraksi
10. Karna,Basukarna,Surya Putra:putra dari dewi Kunti yang juga ibu dari para Pandawa.
Tokoh lainnya antara lain:
1. Resi Abyasa
2. Resi Bhisma
3. Wesampayana
4. Santanu
5. Parasara
6. Satyawati
7. Kunti
8. Yuyutsuh
9. Cakil
10. Citraksa
11. Citraksi
12. Krepa
13. Drestadyumna
14. Sangkuni
15. Salya
16. Baladewa
17. Indra
18. Satyaki
19. Burisrawa
20. Kretawarma,Kartamarma
21. Janamejaya
22. Ekalawiya
23. Widura
24. R.Samba, Wisnubroto
25. Nala
26. Damayanti
27. Tirtanata
28. Udawa
29. Durmogati
30. Sembodra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fungsi dan Arti Candi Borobudur

Pariwisata Indonesia